AL KHANIF, Islam Nusantara
Jember, 31 August 2015
Islamnusantara.com, JAKARTA – Sejak digulirkan beberapa bulan lalu, Islam Nusantara, yang menjadi tema besar muktamar NU ke-33 di Jombang telah memantik kontroversi. Meskipun para penggagas Islam Nusantara sudah menjelaskan bahwa terminologi “Nusantara” tidak dimaksudkan untuk mendirikan mazhab baru didalam Islam, namun tetap saja beberapa kalangan umat Islam menganggap gagasan Islam Nusantara telah menyimpang dari ajaran Islam.
Para penentang Islam Nusantara tidak hanya berasal dari luar NU melainkan juga dari internal NU sendiri. Dari luar NU, suara-suara sumbang yang menentang Islam Nusantara berasal dari oknum-oknum yang afiliasi organisasinya masih relatif kecil dan terbatas. Dari internal NU, beberapa warga NU seperti yang tergabung dalam “NU Garis Lurus” terang-terangan menolak gagasan Islam Nusantara. Bahkan mereka menuduh gagasan ini telah terkontaminasi oleh liberalisme dan sektarianisme Islam yang bisa membahayakan perjalanan NU ke depan.
Melihat resistensi yang sangat kuat baik dari dalam maupun dari luar NU, Islam Nusantara menghadapi tantangan yang cukup besar kedepannya. Jika Islam Nusantara diajukan oleh organisasi Islam yang masih kecil, sangat mungkin Islam Nusantara hanya tinggal sejarah. Gagasan Islam Nusantara yang mengedepankan Islam yang ramah dan tidak pemarah masih ada sampai sekarang karena diajukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi yang ada, keputusan PBNU untuk meneguhkan Islam Nusantara sudah benar meskipun terbilang agak terlambat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa radikalisme agama terutama yang melibatkan umat Islam di Indonesia sudah sering terjadi dan cenderung semakin eskalatif. Jika di awal era Reformasi, konsentrasi radikalisme agama sering terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh kelompok Islam garis keras, beberapa tahun terakhir eskalasi radikalisme sudah menjalar ke basis wilayah NU. Kerusuhan Sampang, Pasuruan dan Jember yang menjadi basis NU menjadi salah satu indikasi pentingnya meneguhkan kembali bahwa NU sangat menjunjung tinggi toleransi dan menghargai perbedaan.
Meneguhkan Islam Nusantara menjadi penting karena selama ini ruang-ruang publik sudah dipenuhi oleh Islam radikal yang lebih menonjolkan kekerasan daripada mendahulukan rasa persaudaraan. Tak bisa dipungkiri mereka juga menyusup ke kalangan NU arus bawah sehingga infiltrasi paham radikal ini juga beberapa kali menyebabkan benturan di internal NU. Kondisi ini tentu juga menjadi menjadi tantangan besar bagi PBNU untuk mengimplementasikan gagasan Islam Nusantara di kalangan warga Nahdliyin.
Pada dasarnya, gagasan Islam Nusantara ini juga bisa dimaknai sebagai usaha dari NU untuk merevisi dikotomi Islam tradisionalis yang selama ini masih melekat di NU. Memang hingga sekarang masih banyak di kalangan NU yang mengatakan pintu ijtihad sudah tertutup rapat. Bahkan kelompok ini seringkali menggunakan yurisprudensi Islam (fiqh) untuk melawan gagasan Islam yang toleran. Mereka beralasan harus menggunakan fiqh karena pemikiran manusia sangat terbatas dalam menafsirkan wahyu sehingga membutuhkan ulama untuk menerjemahkan kalam-kalam ilahi tersebut. Sayangnya hingga kini, fiqh yang dipilih cenderung keras dan kaku. Pada akhirnya Islam diposisikan seolah-olah sebagai agama yang keras dalam menghadapi perbedaan.
Beberapa cendekiawan NU seperti Gus Dur, KH Said Aqil, Alwi Shihab dan beberapa ulama NU lain sebenarnya sudah melakukan ijithad untuk membumikan Islam di Nusantara. Gus Dur beberapa kali menegaskan bahwa umat Islam di Indonesia harus menerapkan Islam Nusantara untuk mengakomodir budaya tanpa merusak ajaran Islam. Semua umat Islam setuju bahwa aqidah tidak mengenal perubahan namun yursprudensi atau tafsir yang berasal dari Syariah yang menyangkut hubungan antar manusia harus selalu berubah karena masyarakat mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Sebenarnya, mengakomodir budaya lokal sudah lama dilakukan oleh para pemimpin Islam sejak lama. Contohnya di era Islam pertama kali masuk ke Mesir, Sahabat Amr ibn Ash r.a. mengijinkan warga Mesir untuk menerapkan hukum mereka sendiri kecuali ritual mengorbankan perempuan di Sungai Nil untuk meminta hujan. Penguasa Islam Moghul di India juga mengijinkan umat Hindu India untuk menerapkan hukum mereka sendiri kecuali ritual Sati, yakni membakar janda yang menikah lagi. Beberapa contoh tersebut menegaskan bahwa Islam diturunkan ke dunia untuk meningkatkan moralitas dan martabat manusia.
Di Indonesia, ijtihad beberapa warga NU bisa dilihat dari penolakan mereka terhadap fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk memilih presiden perempuan pada pemilu tahun 2004. Selain karena fatwa ini bertentangan dengan persamaan derajat perempuan dan laki-laki yang sudah ada di masyarakat Indonesia, fatwa tersebut juga bertentangan dengan yurisprudensi Islam. Pendapat ini didasarkan pada sejarah Perang Unta dimana Aisyah r.a. memimpin para prajurit laki-laki selama peperangan.
Di dalam kasus Minoritas Islam, warga NU masih belum sepenuhnya satu suara. Kelompok pertama adalah NU konservatif. Kelompok ini sangat keras terhadap kelompok Islam yang memiliki penafsiran berbeda. Bahkan mereka mengklaim dimensi hak beragama yang ada di instrumen hukum sekuler tidak bisa diterapkan di Indonesia yang menganut konsep negara religius. Menurut kelompok ini, mengimplementasikan hak beragama versi Barat sama halnya merusak ajaran agama. Bahkan tak segan mereka juga menuduh para cendekiawan NU yang membela minoritas Islam telah menyimpang dari ajaran NU dan bahkan Islam.
Kelompok kedua adalah NU moderat. Setelah meninggalnya Gus Dur, KH Said Aqil bisa dikategorikan sebagai pemikir moderat NU yang membela Islam minoritas. Kelompok moderat ingin menegaskan bahwa Islam harus dimaknai sebagai kata kerja, bukan kata benda yang mati, sehingga bisa menjawab perubahan jaman termasuk problem sosial dan hak asasi manusia.
Jika melihat dinamika di internal NU yang masih belum satu suara dalam beberapa hal, usaha untuk meneguhkan Islam Nusantara harus dimulai dari internal NU sendiri. Kalangan NU moderat harus bisa meyakinkan kalangan NU konservatif bahwa Islam harus mampu menjawab persoalan kemanusian termasuk perlindungan Islam minoritias.
Semangat Islam Nusantara menjadi penting karena hingga sekarang pemerintah Indonesia dan mayoritas umat Islam di Indonesia masih mengedepankan monopoli suatu tafsir tertentu dalam menghadapi perbedaan didalam Islam. Konsekuensinya, tidak ada ruang bagi minoritas Islam untuk berkembang dan mendapatkan hak-hak yang sama dengan Islam minoritas. Jika mereka memaksa untuk mendapatkan hak-hak beragamanya, pemerintah atas desakan Islam mayoritas akan melarang perkembangan Islam minoritas karena hal itu dianggap bisa mengancam kerukunan beragama dan merusak ajaran Islam. (ISNU/Al-Khanif*)
Penulis: Al Khanif, Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum di School of Oriental and African Studies, University of London
Source: Islam Nusantara