AL KHANIF, Republika
Jember, 04 August 2014
Selama dua pekan terakhir sejak penyerangan terhadap Gaza dimulai terjadi gelombang unjuk rasa di berbagai belahan dunia yang diikuti oleh ribuan orang. Bukan hanya warga Muslim, melainkan juga dari berbagai elemen masyarakat dengan latar belakang yang beragam. Ini menunjukkan konflik Gaza bukanlah konflik agama, melainkan tentang tragedi kemanusiaan.
Selain mendukung kemerdekaan Palestina, gerakan massa ini setidak-tidaknya punya dua tujuan utama. Pertama, berusaha mengimbangi pemberitaan media massa di Barat yang hingga kini masih cenderung berpihak pada Israel. Tidak bisa dimungkiri bahwa selama ini media di Barat telah lama membentuk persepsi publik bahwa yang terjadi di Gaza adalah perang. Jika kata yang muncul adalah perang, aturan yang berlaku adalah Konvensi Jenewa.
Dari sinilah muncul istilah terorisme yang dilekatkan kepada Hamas dan hak untuk mempertahankan diri yang disematkan ke Israel. Hak untuk mempertahankan diri memang ada aturan mainnya dalam konvensi, tetapi definisi terorisme selama ini belum pernah ada dalam instrumen internasional. Medialah yang sering mengutip pendapat dari berbagai sumber, lalu menyebarkan ke publik.
Media-media Barat berusaha menghilangkan substansi pendudukan wilayah Palestina oleh Israel. Jika tidak ada kata “pendudukan”, membicarakan sejarah konflik seperti mengaburkan realitas perang yang sedang berlangsung. Dampak dari pengaburan konflik Gaza seperti ini sudah menjadi hal yang wajar di kebanyakan media Barat.
Oleh karena itu, Pasal 49 Konvensi Jenewa yang melarang Israel memindahkan warga negaranya untuk bermukim di wilayah-wilayah Palestina menjadi tidak relevan untuk dibicarakan. Padahal program Gheto, yakni perkampungan Yahudi Israel di wilayah Palestina, yang hingga kini terus berlangsung sudah sangat jelas melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa tersebut. Namun, karena media Barat berhasil menggiring persepsi publik bahwa konflik Gaza baru mulai pada 8 Juli 2014, sejarah panjang pendudukan tidak perlu diperhatikan lagi.
Tujuan kedua dari demonstrasi massa adalah menentang kebijakan negara-negara Barat, utamanya Amerika dan Uni Eropa yang selama ini lebih memihak kepada Israel. Resolusi yang tidak berpihak kepada Israel selalu gagal atau tidak didukung oleh negara-negara yang secara de facto punya kekuatan untuk menekan Israel. Jerman, Prancis, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya, misalny,a baru-baru ini memilih abstain terhadap resolusi yang diajukan oleh Komite HAM PBB di Genewa untuk menyelidiki pelanggaran hukum internasional oleh Israel di Gaza.
Menarik untuk mengetahui mengapa kebanyakan negara-negara Eropa abstain meskipun mayoritas negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia mendukung? Uni Eropa dan komunitas kawasan lainnya di PBB maupun lembaga internasional lainnya tak ubahnya seperti fraksi partai di parlemen. Semua persoalan harus didiskusikan bersama oleh semua anggota komunitas meskipun keputusan final tetap menjadi hak setiap negara. Penolakan terhadap resolusi tersebut oleh negara-negara Uni Eropa, misalnya, disebabkan mereka sepakat bahwa upaya untuk menyelidiki pelanggaran HAM oleh Israel dinilai tidak seimbang.
Lalu, bagaimana dengan Amerika? Mengapa negara ini selalu kukuh mendukung Israel? Peran Amerika dalam menyelesaikan agresi Israel ke Gaza masih dianggap sebagai yang paling efektif karena Amerika menganggap Israel sebagai keluarga jauh. Namun, peran Amerika dalam konflik Gaza juga harus memperhatikan opini publik yang berkembang di dalam negeri karena hal ini juga berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika.
Senator Ron Paul dari Partai Republik, misalnya, mengatakan bahwa Amerika punya tanggung jawab moral untuk menghentikan perang karena senjata yang dipakai Israel adalah buatan Amerika. Hingga saat ini, sayangnya kebijakan Obama cenderung stagnan. Salah satu sebabnya adalah masih besarnya masyarakat Amerika yang bersimpati kepada Israel.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Pew Research Center mengenai persepsi publik Amerika tentang konflik Gaza pada Juli terhadap 1.805 responden, 60 persen yang berusia lebih dari 50 tahun lebih bersimpati kepada Israel. Namun, jumlah tersebut menurun di kalangan anak muda yang lebih bersimpati pada Palestina. Di kalangan partai politik, persepsi mengenai konflik Israel dan Palestina juga terbelah. Sekitar 70 persen dari pendukung Partai Republik mengaku lebih bersimpati kepada Israel, sedangkan hanya 44 persen dari pendukung Partai Demokrat yang bersimpati kepada Israel. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 15 persen pemilih Demokrat yang bersimpati kepada Palestina dan jumlah tersebut semakin menurun di kalangan pemilih Republik sebanyak 7 persen.
Jika dilihat dari persentase tersebut, sudah selayaknya Obama bersikap berhati-hati dalam menyikapi konflik Gaza. Bukan tidak mungkin Demokrat akan kehilangan kekuasaan pada pemilu yang akan datang jika tidak memperhatikan aspirasi masyarakatnya tentang konflik Gaza.
Posisi Indonesia
Selama ini Indonesia dikenal oleh komunitas internasional sebagai salah satu negara yang terus mendukung kemerdekaan Palestina. Akan lebih baik jika perjuangan tersebut dimaksimalkan melalui organisasi kawasan, ASEAN. Sebagai negara terbesar di kawasan, seharusnya Indonesia bisa memaksimalkan ASEAN seperti Uni Eropa untuk menyuarakan aspirasinya. Jika melihat jumlah negara anggotanya, bukan tidak mungkin PBB akan melihat suara ASEAN sepenting suara Uni Eropa untuk menentukan kebijakan.
Terkait media massa, ada beberapa suara sumbang dari masyarakat Indonesia yang berpendapat bahwa pemberitaan media massa Indonesia tentang konflik Gaza terlalu dibesar-besarkan. Pendapat ini tentu kurang tepat jika melihat betapa berita dari media-media di Barat selama ini sangat tidak seimbang. Bahasa ‘Israel berhak membalas’ sudah menjadi lingua franca di Barat dan tidak salah jika media di Indonesia juga menggunakan ungkapan sebaliknya. n
Al Khanif
Mahasiswa Doktoral Hukum di School of Oriental and African Studies University of London
Source: Republika